Menurut Liputan6.com, Hari ini Banda Aceh: Gempa berkekuatan 7,6
skala Richter disertai peringatan tsunami membuat warga di sejumlah
wilayah Aceh berhamburan keluar rumah, Rabu (11/1) dinihari. Di Banda
Aceh, misalnya. Trauma bencana tujuh tahun silam membuat warga
berhamburan keluar mencari lokasi yang tinggi dan menjauh dari kawasan
laut. Ribuan warga seperti dari Ulhele, Khaju, dan Lhoknga
menyelamatkan diri dengan membawa bekal seperti pakaian dan makanan.
Warga tumpah ruah di sepanjang jalan Kota Banda Aceh menuju Aceh Besar.
Sebagian warga membawa kendaraan, sebagian lagi berjalan kaki. Warga
terus berlari mengarah ke kawasan yang lebih tinggi. Gempa 7,6 Skala Richter mengguncang Aceh, sekitar 01.36 WIB.
Gempa ini disertai peringatan adanya tsunami untuk Aceh, Sumatra Utara,
Bengkulu, dan Lampung. Berdasarkan informasi Badan Klimatologi
Metereologi dan Geofisika (BMKG), pusat gempa terletak di kedalaman 10
kilometer.
Banda Aceh yang berada di ujung pulau Sumatera, menurut Prof Dr Munirwansyah (Ketua Bidang Geoteknik
Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala (Unsyiah)) merupakan kota yang rawan gempa.Ibu Kota Provinsi Aceh ini, menurutnya, juga diapit dua patahan besar
lempeng bumi. Yakni, patahan Darul Imarah dan patahan Darussalam yang
merupakan sesar aktif dan paling peka terhadap getaran pergeseran. Ini
pula yang menyebabkan, hampir seluruh gempa yang episentrumnya di laut
atau di darat Pulau Sumatera, dirasakan getarannya oleh penduduk Banda
Aceh.
Sebetulnya, sudah lama dan lumayan banyak geolog yang tahu bahwa Banda
Aceh rawan, bahkan sangat rawan gempa. Kota ini malah layak dijuluki
“city on the ring fire”, kota di atas cincin (gunung) api, karena
besarnya potensi gempa vulkanik, mengingat di dekat Banda Aceh,
terdapat Gunung Seulawah Agam yang masih aktif.
Tapi para geolog punya alasan dan pertimbangan tersendiri, sehingga
lumayan lama informasi mengenai Banda Aceh yang rawan gempa itu
ditahan-tahan untuk tidak dipublikasi. Kebanyakan geolog berpendapat,
karena penduduk Banda Aceh dan sekitarnya baru saja mengalami duka tak
terperi akibat gempa 9,1 Richter yang memicu tsunami pada 26 Desember
2004, sehingga geolog menahan diri tidak membeberkan informasi yang
mencekam itu ke ranah publik. Para ilmuwan di bidang dinamika kebumian
itu sepertinya tidak ingin penduduk Banda Aceh dan sekitarnya gundah
dan merasa “terteror” oleh kabar bahwa kota yang mereka diami ternyata
rawan gempa.
Kondisi Geologi :
Aktivitas geologi di wilayah Aceh dimulai pada zaman Miosen, yakni saat
diendapkannya batuan yang dikenal sebagai Formasi Woyla. Pada zaman
tersebut dihasilkan struktur geologi yang berarah selatan-utara, yang
diikuti oleh permulaan subduksi lempeng India-Australia terhadap lempeng
Eurasia pada zaman Yura Akhir. Pada periode Yura Akhir-Kapur diendapkan
satuan batuan vulkanik. Selanjutnya, di atas satuan ini diendapkan batu
gamping (mudstone dan wreckstone) secara tak selaras berdasarkan
ditemukannya konglomerat atas.
Pada akhir Miosen, Pulau Sumatera mengalami rotasi searah jarum jam.
Pada zaman Pliopleistosen, arah struktur geologi berubah menjadi barat
daya-timur laut, di mana aktivitas tersebut terus berlanjut hingga kini.
Hal ini disebabkan oleh pembentukan letak samudera di Laut Andaman dan
tumbukan antara Lempeng Mikro Sunda dan Lempeng India-Australia terjadi
pada sudut yang kurang tajam. Terjadilah kompresi tektonik global dan
lahirnya kompleks subduksi sepanjang tepi barat Pulau Sumatera dan
pengangkatan Pegunungan Bukit Barisan pada zaman Pleistosen.
Pada akhir Miosen Tengah sampai Miosen Akhir, terjadi kompresi pada Laut
Andaman. Sebagai akibatnya, terbentuk tegasan yang berarah NNW-SSE
menghasilkan patahan berarah utara-selatan. Sejak Pliosen sampai kini,
akibat kompresi terbentuk tegasan yang berarah NNE-SSW yang menghasilkan
sesar berarah NE-SW, yang memotong sesar yang berarah utara-selatan.
Pola tektonik wilayah Aceh dikontrol oleh pola tektonik di Samudera
Hindia. Samudera Hindia berada di atas lempeng samudera (Indian –
Australian Plate), yang bergerak ke utara dengan kecepatan 6–8 cm per
tahun. Pergerakan ini menyebabkan Lempeng India – Australia menabrak
lempeng benua Eropa – Asia (Eurasian Plate). Di bagian barat, tabrakan
ini menghasilkan Pegunungan Himalaya; sedangkan di bagian timur
menghasilkan penunjaman (subduction), yang ditandai dengan palung laut
Java Trench membentang dari Teluk Benggala, Laut Andaman, selatan Pulau
Sumatera, Jawa dan Nusa Tenggara, hingga Laut Banda di Maluku
Di Sumatera, penunjaman tersebut juga menghasilkan rangkaian busur pulau
depan (forearch islands) yang non-vulkanik (seperti: P. Simeulue, P.
Banyak, P. Nias, P. Batu, P. Siberut hingga P. Enggano), rangkaian
pegunungan Bukit Barisan dengan jalur vulkanik di tengahnya, serta sesar
aktif ’The Great Sumatera Fault’ yang membelah Pulau Sumatera mulai
dari Teluk Semangko hingga Banda Aceh. Sesar besar ini menerus sampai ke
Laut Andaman hingga Burma. Patahan aktif Semangko ini diperkirakan
bergeser sekitar sebelas sentimeter per tahun dan merupakan daerah rawan
gempa bumi dan tanah longsor.
Di samping patahan utama tersebut, terdapat beberapa patahan lainnya,
yaitu: Sesar Aneuk Batee, Sesar Samalanga-Sipopok, Sesar Lhokseumawe,
dan Sesar Blangkejeren. Khusus untuk Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh
Besar dihimpit oleh dua patahan aktif, yaitu Darul Imarah dan
Darussalam. Patahan ini terbentuk sebagai akibat dari adanya pengaruh
tekanan tektonik secara global dan lahirnya kompleks subduksi sepanjang
tepi barat Pulau Sumatera serta pengangkatan Pegunungan Bukit Barisan.
Daerah-daerah yang berada di sepanjang patahan tersebut merupakan
wilayah yang rawan gempa bumi dan tanah longsor, disebabkan oleh adanya
aktivitas kegempaan dan kegunungapian yang tinggi. Banda Aceh sendiri
merupakan suatu dataran hasil amblesan sejak Pliosen, hingga terbentuk
sebuah graben. Dataran yang terbentuk tersusun oleh batuan sedimen, yang
berpengaruh besar jika terjadi gempa bumi di sekitarnya.
Penunjaman Lempeng India – Australia juga mempengaruhi geomorfologi
Pulau Sumatera. Adanya penunjaman menjadikan bagian barat Pulau Sumatera
terangkat, sedangkan bagian timur relatif turun. Hal ini menyebabkan
bagian barat mempunyai dataran pantai yang sempit dan kadang-kadang
terjal. Pada umumnya, terumbu karang lebih berkembang dibandingkan
berbagai jenis bakau. Bagian timur yang turun akan menerima tanah hasil
erosi dari bagian barat (yang bergerak naik), sehingga bagian timur
memiliki pantai yang datar lagi luas. Di bagian timur, gambut dan bakau
lebih berkembang dibandingkan terumbu karang. (sumber : http://piba.tdmrc.org)
Pencegahan Bencana :
Berdasarkan UU Nomor 24/2007 tentang Penanggulanan Bencana, bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, antara lain gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan dan tanah longsor. Kejadian gempa di Banda Aceh dikategorikan sebagai bencana alam. Hal-hal yang perlu diantisipasi sebelum terjadinya bencana alam, adalah :
-
Pemerintah sebaiknya memetakan
daerah-daerah yang ada di wilayah patahan atau sesar aktif tersebut.
Apabila ada zona yang dinyatakan potensial dilanda gempa besar, maka
sepatutnya zona tersebut tidak dimanfaatkan untuk pemukiman warga dan
tidak dibangun perkantoran. Tempat yang rawan bencana, sebaiknya
diperuntukkan hanya sebagai daerah terbuka hijau. hal ini sebenarnya sudah di akomodir dalam Rencana Tata Ruang Wilayah. sehingga perlu perhatian khusus dalam implementasinya.
- Pencegahan bencana melalui serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan risiko bencana, baik melalui pengurangan ancaman bencana maupun kerentanan pihak yang terancam bencana.