Saturday, 28 January 2012

Suistainable City.....???


Pembangunan yang berkelanjutan adalah pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat masa kini tanpa mengabaikan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sebagai suatu proses perubahan dimana pemanfaatan sumberdaya, arah investasi, orientasi pembangunan dan perubahan kelembagaan selalu dalam keseimbangan dan secara sinergis saling memperkuat potensi masa kini maupun masa mendatang untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi manusia (Brundtland, 1987).

Sudah semenjak beberapa dekade yang silam, Doxiadis sudah meramal bahwa kota-kota akan tumbuh dan bengkak semakin besar, semakin luas dan sulit dikendalikan. Polis (kota) akan menjadi metropolis (kota raya), megapolis (kota mega), ecumenopolis (kota dunia) dan bila tidak hati-hati akan berakhir dengan necropolis (kota mayat). Kita seyogjanya tidak mengambil resiko membangun lingkungan binaan yang akan berakibat dengan ketidakberlanjutan.

John Ormsbee Simonds pun dalam bukunya berjudul earthspace (1986) mengingatkan kita agar lebih berhati-hati dalam mengelola kota dan lingkungan binaan manusia. Disebutkan bahwa para pengelola kota bersama kalangan pengusaha dan masyarakat luas sedang bersama-sama melakukan apa yang disebutnya dengan “ecological suicide” atau bunuh diri ekologis. Tidak heran bila kemudian bermunculan buku-buku tentang keberlanjutan kota. Hampir semua mengungkapkan kerisauan tentang terabaikannya keseimbangan ekologis, kecenderungan dehumanisasi di daerah perkotaan, ketidakadilan dalam pendistribusian lahan atau ruang kota dan melebarnya jurang kaya-miskin.

Tampaknya kecenderungan semacam itu sedang berlangsung pula di kota-kota besar di Indonesia. Kita wajib mencermati, mewaspadai, menangkal atau mencegah berlarut-larutnya tendensi yang bisa menimbulkan tragedy dan bencana bagi peradapan manusia, seperti :
  1. Kota modern yang mengabaikan ekologi dan keunikan social budaya
  2. Kota sampah, entah apa yang salah dengan Indonesia….sampah pun (bahkan dalam arti sebenarnya, bukan kiasan) mulai diimpor dari mancanegara. Bila para pemulung ramai-ramai memprotes sampah impor, mestinya para arsitek pun menolak “arsitektur sampah”  seperti bangunan berbentuk kotak kaca yang dapat menyebabkan pemanasan global dan para perencana kota juga sepatutnya menolak hadirnya kota sampah yang tidak memiliki jati diri, tidak peka lingkungan dan akan berakibat dengan ketidakberlanjutan

Prakiraan tentang anatomi kota masa depan kiranya dapat dikemukakan beberapa alternative kota masa depan, seperti :
  1. Bila yang mendominasi kota adalah rekayasawan dan teknolog yang tercipta adalah technopolis. Wujudnya bisa berupa kota yang sarat dengan bangunan jangkung, kota kompak satu dimensi, kota terapung, kota di dalam laut, kota di udara, kota yang bisa berjalan dan semacamnya. Melalui kecanggihan teknologi, kehadiran kota yang berorientasi pada kecanggihan teknologi seperti itu  bukan merupakan perkara yang mustahil
  2. Bila yang berperan dalam kota adalah kalangan pengusaha atau sektor swasta, maka yang muncul adalah profitopolis. Wujudnya berupa kota yang sangat efektif dan efisien, biasanya dengan pola papan catur dan potongan atau profil kota mirip pyramid. Penataan kota seperti ini dilandasi perhitungan ekonomi dan analisis biaya manfaat yang amat cermat tapi mengabaikan aspek social budaya....hmmm.....irit bin pedit...???
  3. Bila penentu kebijakan atau pengelola perkotaan dalam hal ini pimpinan pemerintah daerah yang mendominasi pengambilan keputusan dalam perencanaan dan pembangunan kota, maka yang tercipta adalah Marxopolis. Kota-kota akan tampak seragam, serba rapi, teratur, menyiratkan kedisiplinan. Namun akan terlihat kaku, monoton, tidak ada keberagaman atau variasi. Persepsi dan aspirasi rakyat yang beragam tidak diserap apaladi diwadahi.
  4. Bila yang berperan dari kalangan ilmuwan dan pakar ahli lingkungan, maka yang akan tercipta adalah Ecopolis. Lingkungan binaan termasuk karya arsitekturnya akan menyatu, selaras, serasi dan seimbang dengan lingkungan alamnya. Konservasi energy dan pelestarian keseimbangan ekologis menjadi pertimbangan utama dalam pembangunan kota.
  5. Bila yang berperan adalah masyarakat sebagai warga kota, mungkin kota akan berwujud humanipolis. Keterlibatan warga kota tidak sekedar terbatas pada pemberian informasi, penyelenggaraan diskusi dan konsultasi tetapi sudah sampai pada tahap citizen power. Rakyatlah yang lebih menentukan wajah kota masa depan.
Hmmm…..tentunya kota-kota di Indonesia kita inginkan tidak berkembang pada salah satu jenis di atas. Diharapkan bahwa kota-kota kita di masa depan akan berkembang dengan penuh variasi atau keberagaman sesuai dengan potensi dan masalah yang dihadapi masing-masing kota dan mampu berkompetisi secara sukses dalam pertarungan ekonomi global serta mempertahankan vitalitas budaya dan keserasian lingkungan.

(Sumber : Suistainable city-Eko Budihardjo)

No comments:

Post a Comment